..

General Defences dalam Torts

Ada beberapa macam cara pembelaan dalam Torts, yaitu: 
  1. Contributory Negligence 
  2. Self Defence 
  3. Volenti non fit injuria 
  4. Inevitable Accident 
  5. Act of God 
  6. Necessity
  7. Staturory Authority 
  8. Mistake
  9. Illegality
  10. Limitation
1. Contributory Negligence 
Secara tegas, contributory negligence pada saat sekarang bukan lagi merupakan suatu defence tetapi akan lebih melengkapi kalau ini ditempatkan di bawah judul defence, karena contributory negeligence ini sangat luas ditemukan dan aplikasinya sangat terkait dengan Tort tertentu. 

Pada Common Law, contributory negligence sampai dengan tahun 1945 merupakan suatu alat pembelaan yang penuh (complete defence); jika seorang tergugat (defendant) dapat menunjukkan bahwa penggugat (plaintiff) memiliki sekecil apapun, tanggung jawab terhadap kerugian atau kerusakan yang dia derita, maka tergugat (defendant) ini tidak dibebani tanggung jawab.

Hal semacam ini sering terjadi dan masih akan terjadi, dalam kaitan dengan kecelakaan di jalan raya; luka badan atau kerusakan umumnya, sebagian adalah akibat dari kesalahan defendant dan sebagian adalah akibat dari kesalahan plaintiff. 

Dalam tahun 1945 Parlemen Inggris telah memutuskan bahwa defence of contributory negligence adalah sangat tidak adil, khususnya apabila kontribusi kesalahan dari plantiff sangat kecil. Sehingga The Law Reform (Contributory Negligence) Act 1945 menyajikan aturan sebagai berikut: 

“Apabila orang menderita kerugian/kerusakan yang sebagian disebabkan oleh kesalahannya sendiri dan sebagian disebabkan oleh orang/pihak lain, tuntutan terhadap kerusakan tersebut tidak dapat dikalahkan oleh suatu alasan adanya kesalahan dari pihak yang menderita kerusakan/kerugian, tetapi jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan harus berkurang sesuai dengan proporsi kontribusi kesalahannya sebagaimana pengadilan menganggap itu sudah cukup adil…”. 


Kasus yang sangat tepat sebagai contoh untuk contributory negligence adalah kasus Baker vs Willoughby (1969). Seorang pejalan kaki memiliki jarak pandang paling sedikit 200 yards di jalan, dan sama halnya dengan seorang sopir, dia harus memperhatikan banyak peringatan mengenai pejalan kaki yang sering berusaha untuk menyeberang jalan. Walau sudah ada ketentuan tersebut, tetap terjadi kecelakaan ketika seorang pejalan kaki berusaha menyeberang di jlan ditabrak oleh sebuah mobil. Pejalan kaki menuntut melalui pengadilan terhadap pengendara mobil, dan The Court of Appeal (pengadilan banding) telah memutuskan bahwa sopir dan pejalan kaki secara merata sama-sama bersalah dan penggantian terhadap pejalan kaki berkurang setengah dari yang seharusnya dia terima seandainya dia tidak ada unsur kesalahan sama sekali. 

Jumlah penggantian berkurang sebagai akibat dari adanya contributory negligence, pengadilan perlu meneliti terlebih dahulu nilai penggantian penuh, dan kemudian memperhitungkan persentase yang akan dijadikan dasar pengurangan sebagai akibat adanya contributory negligence. Satu alasan yang kuat atas adanya perhitungan demikian adalah karena adanya kemungkinan bahwa dalam banding diperoleh suatu persentase yang terlampau tinggi atau terlampau kecil. 

Sebagai contoh dalam kasus Baker vs Willoughby (supra), Pengadilan pada tingkat pertama telah memutuskan bahwa pengendara mobil 75% dipersalahkan, kemudian pada akhirnya turun menjadi 50% pada tingkat banding. 

Namun ada suatu hal yang benar bahwa tidak ada suatu cara yang dapat dipakai oleh pihak pengadilan untuk dapat dipergunakan agar dapat menetapkan tingkat kesalahan dalam bentuk persentase, dan ini sangat tidak mungkin untuk dapat dibuktikan misalnya seseorang dipersalahkan sebesar 25% ketimbang 20% atau 30%. 

Yang dapat dikatakan adalah bahwa hukum yang berlaku sekarang berjalan dengan baik dalam prakteknya dan secara umum dapat diterima oleh semua pihak dan terdapat banyak kemajuan dari posisi Common Law sebelum tahun 1945. 

Terlepas dari kasus-kasusu yang jelas dalam Contributory Negligence, telah diputuskan oleh pengadilan bahwa seseorang akan ikut disalahkan apabila dia menerima tawaran dari sopir untuk ikut naik kendaraannya yang dia tahu bahwa sopir tersebut dalam kondisi mabuk, seperti yang diputuskan dalam kasus Owens vs. Brimmel (1976), dikatakan bahwa terdapat contributory negligence, tidak hanya karena penumpang mengetahui bahwa sopir dalam keadaan mabuk, tetapi juga penumpangnya sendiri ikut minum minuman keras dengan sopir dan dia menyadari bahwa minuman akan mengurangi kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menghindari adanya bahaya. 

Kasus-kasus hukum tersebut telah melahirkan adanya 2 (dua) jenis contributory negligence, yaitu : 
Pertama, Plantiff ikut dipersalahkan sebagian atas suatu kejadian kecelakaan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya di atas. 

Kedua, Plantiff tidak ikut dipersalahkan dalam suatu kecelakaan, tetapi kalau lukanya (injury) menjadi lebih parah dibandingkan seandainya dia telah melakukan langkah-langkah pengamanan untuk dirinya sendiri. Sehingga dalam hal ini seorang pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm atau pengendara dan penumpang mobil yang tidak menggunakan seat belt, ganti rugi yang seharusnya dia terima akan berkurang jika sebagai akibat dari tidak menggunakan helm/seat belt tersebut lukanya menjadi lebih parah dan sebaliknya. 

Terkait dengan masalah seat belt tersebut hukum (di Inggris) telah dikembangkan dengan beberapa pelengkap keakuratan perhitungan : 

  • Jika lalai menggunakan seat belt yang tidak akan membuat perbedaan terhadap akibat kecelakaan, maka penggantian tidak akan dikurangi. 
  • Jika tidak akan ada luka badan sama sekali seandainya menggunakan seat belt, penggantian akan dikurangi sebesar 25%. 
  • Jika luka badan akan berkurang seandainya menggunakan seat belt, penggantian secara umum akan berkurang sebesar 15%, kecuali jika terdapat alasan khusus yang menjelaskan tidak digunakannya seat belt tersebut, misalnya terhadap seorang wanita yang sedang hamil.
Dalam kasus Pasternak vs. Poulton (1973), plantiff yang duduk di depan di dalam mobil yang dia tidak tahu bahwa mobil dilengkapi dengan seat belt, telah diputuskan bahwa karena defendant tidak melakukan langkah-langkah agar penumpang (plantiff) mempergunakan seat belt, maka penggantian hanya dikurangi sebesar 5%. (Sebagaimana telah menjadi ketentuan bahwa memakai/menggunakan seat belt pada tempat duduk di depan (front seat) dalam mengendarai mobil adalah wajib, maka ini tidak akan mungkin plantiff dapat punya alasan bahwa dia tidak tahu bahwa seat belt telah tersedia di dalam mobil). 

2. Self Defence 
Seseorang berhak untuk membela dirinya sendiri atau anggota keluarganya, dan dia juga boleh mengambil langkah/tindakan yang perlu untuk melindungi tanahnya dan harta benda pribadinya. Dalam setiap situasi, segala tindakan bela diri yang dilakukan harus cukup beralasan dan terkait dengan gangguan yang dapat merugikan dirinya di mana sebaliknya apabila dia tidak melakukan bela diri maka dia akan menderita kerugian. 

Sebagai contoh : seseorang berhak untuk melarang dan menghalangi anak-anak untuk memasuki suatu kebun pribadinya, untuk menghindari terjadinya tort of trespass - mencuri apel yang yang ada di kebunnya dan tort of conversion dengan membangun tembok yang tinggi yang sangat membahayakan bila dipanjat, tetapi dia tidak berhak untuk memasang jebakan yang berbahaya yang dipasang tersembunyi agar mencegah anak-anak masuk. 

3. Volenti non fit injuria 
Seseorang yang telah mengetahui terhadap adanya resiko dan dia menyetujui untuk menjalaninya (consents to run the risk), dia tidak mempunyai hak untuk menuntut apabila terjadi kecelakaan. 

Misal : 
Pemain bola yang ikut bermain di suatu pertandingan, di sini diartikan bahwa secara implied dia sudah mengetahui tentang resiko bermain bola, dan menyetujui untuk menghadapi resiko yang ada, maka apabila kakinya patah karena pemain lawan maka dia tidak dapat menuntut siapapun. 
  • Pemain golf yang berada/bermain di lapangan golf 
  • Pemain cricket yang berada/bermain di lapangan cricket. 
Ada beberapa batasan dalam pembelaan (defence) ini, misalnya seseorang mengetahui tentang adanya resiko (consent the risk), tetapi dia tidak menjalani resiko tersebut (not run the risk), ada 3 (tiga) contoh sebagai berikut : 

Pertama,
Seorang karyawan mungkin menyadari akan adanya resiko tetapi dia tidak dapat menghindari agar tidak menjalani resiko tersebut, karena apabila dia hindari resiko tersebut maka dia akan kehilangan pekerjaaan. 

Smith vs. Baker (1891) 
Plantiff dipekerjakan untuk membuat lubang dengan bor di gunung batu (karang) 
  • Sepengetahuan dari majikannya (employer), ada beberapa karyawan lain yang sedang bekerja dengan crane, yang maneuver dari crranes tersebut melewati di atas 
  • kepala plantiff, yang atas hal ini plantiff telah melakukan protes (complain) kepada majikannya. 
  • Plantiff terluka ketika batu jatuh dari crane dan menimpanya 
  • Dalam kasus ini telah diputuskan bahwa tuntutan plantiff dimenangkan (tidak ada defence dalam kaitan dengan volenti non vit injuria). 
Namun dalam hal ini akan terjadi sebaliknya jika dalam mempekerjakan tersebut secara alamiah telah jelas tentang resiko yang dihadapi dan karyawan yang terlibat sudah setuju untuk menghadapi resiko yang ada sesuai dengan jumlah bayaran yang diterimanya, misalnya seorang penunggang kuda (jockey) di arena pacuan kuda, dia tidak dapat menuntut majikannya apabila dia jatuh dari kuda karena jatuh dari kuda merupakan bagian dari tugas/kewajibannya.

Kedua
Seseorang tidak dapat dikatakan bersedia untuk menjalani resiko (willing to take the risk), jika undang-undang telah memaksa/mengharuskan dia sebagai beban untuk menjalani resiko (run the risk)

Haynes vs. Harwood (1935) 
  • Seekor kuda dan keretanya ditinggal oleh pemiliknya di jalan yang ramai 
  • Kuda tersebut lari dengan kencang dan seorang polisi terluka dalam usahanya untuk menjinakkan dan menahan kuda tersebut. 
  • Telah diputuskan bahwa dia (polisi) tersebut berhak untuk menuntut pemilik kuda untuk memperoleh ganti rugi, di mana dalam kasus ini polisi tersebut mempunyai kewajiban secara hukum untuk melindungi masyarakat. 
Berbeda dengan kasus Cutler vs. United Daries Ltd (1933) 
  • Plantiff berusaha menghentikan kuda yang sedang berlari di suatu jalan yang sepi di suatu desa 
  • Plantiff terluka dan menuntut penggantian kepemilik kuda. 
  • Defendant berhasil melakukan pembelaan dengan menggunakan volenti non vit injuria, karena bahaya yang ditimbulkan oleh kuda tersebut sangat kecil baik terhadap jiwa manusia dan harta benda yang ada di sekelilingnya. 
Ketiga
Kewajiban atau tugas yang dibebankan kepada seseorang mungkin semata-mata sebagai kewajiban moral (moral obligation), bukan kewajiban secara hukum (legal obligation) seperti yang ada pada Haynes vs. Harwood (supra)

Chadwick vs. British Railways Board (1967) 
  • Suatu kecelakaan kereta api yang disebabkan oleh kelalaian (negligence) dari defendant 
  • Suami dari plantiff berjam-jam menghabiskan waktunya untuk membantu dalam operasi pertolongan (rescue operations
  • Akibatnya plantiff mengalami gangguan kejiwaan (nervous shock
  • Diputuskan oleh pengadilan bahwa plantiff berhak untuk menerima ganti rugi dari defendant, walaupun dalam hal ini suami plantiff tidak dalam statusberkewajiban secara hukum dalam melaksanakan operasi pertolongan tersebut. 
  • Defence of volenti non vit injuria ini tidak akan ada jika dituduhkan bahwa telah terjadi pelanggaran kewajiban secara hukum (breach of statutory duty). 
Hal ini terutama berlaku dalam kasus di mana karyawan menuntut majikan (employees against employer), dan dalam praktek, defence semacam ini jarang muncul dalam kasus karyawan dan majikan. 

Defence volenti non vit injuria muncul bukan hanya jika plantiff setuju untuk menjalani resiko (consents to run the risk), tetapi juga jika dia setuju bahwa orang lain yang bekerja melakukan sesuatu untuk dan atas dirinya sendiri, yang sebaliknya apabila tidak ada persetujuan akan menjadi tindakan tort bagi si pelaku tersebut. 

Jadi seperti misalnya seseorang telah menyetujui seorang dokter bedah untuk melaksanakan operasi pada dirinya; maka tanpa adanya persetujuan dari dia, dokter tersebut dapat dituntut dalam kasus tort; kecuali operasi yang sifatnya darurat (emergency). 

4. Inevitable Accident 
Defence di dalam inevitable accident ini adalah suatu accident yang terjadi tidak dapat dihindari walaupun telah dilakukan tindakan pencegahan yang dapatdilakukan oleh orang yang normal (reasonable man). 

Contoh dalam kasus Stanley vs. Powell (1891) 
  • Defendant (tergugat) adalah anggota club menembak, yang sedang melakukan acara menembak, 
  • Defendant dalam kegiatan di club tersebut, menembak seekor burung, 
  • Tembakannya meleset dan mengenai batang pohon, 
  • Peluru nyasar mengenai plantiff (penggugat), 
  • Telah diputuskan bahwa defendant telah melakukan tindakan pencegahan yang memadai, sehingga tuntutan plantiff untuk minta ganti rugi tidak dipenuhi oleh pengadilan. 
Dalam kasus seperti ini, dapat dikemukakan bahwa tidak ada defence yang secara khusus atas “inevitable accident” yang langsung bisa menjadi defence secara langsung, tetapi defence dalam hal ini semata-mata dengan cara mengemukakan evidence (bukti-bukti) yang kuat bahwa tidak ada unsur negligence pada defendant dalam kejadian tersebut.

5. Act of God 
Defence dalam bentuk Act of God dalam beberapa aspek sama seperti inevitable accident. Sebagaimana didefinisikan dalam kasus “Greenock Corporation vs.Caledonian Railway Co. (1917) di mana situasi yang terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia untuk dapat menduga, dan seorang yang ahli pun tidak dapat mengetahui kemungkinan atas situasi termaksud. 

Nichols vs Marsland (1876) 
  • Defendant memiliki beberapa danau buatan di areal tanah yang dia miliki, 
  • Suatu ketika terjadi hujan yang sangat lebat (yang jauh lebih lebat dan lebih deras dari biasanya yang pernah diingat dan dialami oleh para saksi mata) 
  • Air hujan yang tertampung menjebol danau buatan dan meluap secara deras ke areal sekitarnya dan meruntuhkan 4 (empat) buah jembatan milik pemerintah daerah setempat (plantiff). 
  • Tuntutan dilakukan oleh pemerintah daerah’ 
Diputuskan bahwa tuntutan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan (court) dengan alasan bahwa defendant tidak dapat mengetahui hal-hal untuk melakukan pencegahan terjadinya resiko termaksud yang secara beralasan dia tidak dapat melakukan antisipasi

Perbedaan yang esensial antara Inevitable Accident dengan Act of God adalahInevitable accident melibatkan unsur manusia Act of God tidak melibatkan unsur manusia, tetapi semata-mata faktor alam yang terlibat. 

Defence dengan “Act of God” sekarang ini sudah jarang dilakukan, dan sangat kecil kemungkinannya untuk berhasil menjadi defence, karena ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai bahaya-bahaya alam telah banyak dan lengkap dibandingkan dengan sebelumnya seperti situasi dalam kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan pada Nichols vs. Marsland. 

6. Necessity 
Necessity adalah suatu defence di mana defendant terpaksa melakukan sesuatu sebagai suatu keperluan/kebutuhan untuk melindungi orang atau harta benda dari bahaya yang sangat dekat.Dalam defence demikian dia harus dapat memperlihatkan bahwa dalam situasi tersebut langkah-langkah yang diambil cukup beralasan. 

Cope vs. Sharp (1912) 
  • Defendant seorang gamekeeper (pengelola lapangan pertandingan). 
  • Defendant dengan sengaja membakar lapangan rumput yang berada di pekarangan majikannya dengan maksud membuat fire break, agar kebakaran (yang telah terjadi di sebelah pekarangan majikannya) tidak menjalar ke pekarangan majikannya.Walaupun dalam kenyataannya kebakaran telah berhenti sebelum mencapai fire break yang dibuatnya tersebut, namun pengadilan telah memutuskan bahwa defendant telah melakukan tindakan yang beralasan (reasonable) untuk mencegah kebakaran lebih besar. 
Leigh vs. Gladstone 
Petugas penjara telah melakukan pembelaan (defence) atas tindakan bela dirinya terhadap perlakuan tahanan yang menyerangnya pada saat secara paksa diberi makan pada situasi terjadi mogok makan.Namun demikian kasus ini terdapat keragu-raguan, karena kesulitan untuk menentukan atau melihat sejauh mana kewajiban seorang petugas penjara untuk : 
  • menentang keinginan dari tahanan tersebut dan
  • mempertahankannya agar tahanan tetap hidup 
7. Staturory Authority 

Statutory Authority adalah suatu defence yang diajukan oleh defendant dalam pembelaannya pada suatu kasus, di mana tanpa adanya statutory authority tersebut maka kasusnya tersebut adalah merupakan kasus tindakan tort. 

Sebagai contoh: 
Suatu bunyi atau getaran yang berlebihan, yang ditimbulkan secara berkelanjutan (continual) dan menyebabkan terganggunya kenyamanan pihak lain yang berada atau menempati bangunan/lokasi di sebelahnya dinyatakan sebagai Tort of Nuisance

Namun dalam dunia modern akan ditemukan beroperasinya kereta api, lapangan terbang yang kemungkinan sekali dalam common law akan selalu menimbulkan nuisance bagi operator atau pengelolanya. Maka berdasarkan suatu Statutory Act (statutes) yang berlaku, operator dari service tersebut (perusahaan kereta api, pengelola airport) terbebas dari tort of nuisance tersebut. Namun kalau tidak ada statutes tersebut maka tetap pengelola semacam di mata common law merupakan tindakan tort of nuisance. 

Kekebalan hukum dari tort of nuisance demikian akan tetap dapat dipertahankan sepanjang operasi dari operator tersebut berada dalam batas-batas yang telah ditentukan dalam statutory act tersebut. Kalau sudah melebihi batas-batas tersebut, maka tetap dianggap sebagai tindakan tort of nuisance, misalnya; operator  airport dalam operasinya ditetapkan batas ketinggian dan kecepatan pesawat yang diizinkan untuk terbang di sekitar airport. Maka apabila dalam prakteknya melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam statutory act tersebut, dalam common law, pengelola airport dapat dituntut sebagai melakukan tindakan tort of nuisance. 

Dalam situasi tertentu Statutory Authority merupakan yang mutlak defence (Absolute defence) yang penuh, walaupun sebetulnya ada alternatif lain yang dapat dan harus dilakukan oleh defendant, di mana tingkat gangguannya kepada pihak lain jauh lebih kecil. 

Dalam kasus-kasus lain Statutory Authority ini bersifat tergantung (Conditional defence) kepada hal lain. Ketergantungan (conditional) diterapkan kepada orang-orang yang menyangkut masalah kehidupan pribadinya, sehingga dalam hal ini statutory authority bukan merupakan defence. 

Untuk menentukan apakah suatu Statutory Authority adalah Absolute defence atau Conditional Defence akan tergantung pada wording dari Statutory Act yang bersangkutan.

Marriage vs. East Norfolk Rivers Catchment (1950) 

Dengan berlandaskan kekuasaan (wewenang) yang diatur dalam The Land Drainage Act 1930, maka Board yaitu badan yang mengelola drainase telah mengeruk tanah/lumpur dari dasar sungai dan memindahkannya serta menimbunnya di sungai bagian lihir yang menyebabkan kenaikan dasar sungai. Kemudian suatu saat 

terjadi air di sungai penuh meluap, sehingga air sungai bukannya mengalir seperti biasanya ke hilir dari sungai tetapi mengalir ke areal lain yang menyebabkan ambruknya sebuah jembatan dan menggenangi bangunan usaha penggilingan plantiff. 

Act atau UU mengatur bahwa dalam hal luka badan atau kerusakan harta benda yang disebabkan oleh tindakan Board terhadap wewenang yang dimilikinya, maka Board harus memberikan ganti rugi secara penuh, dan jika terdapat perbedaan pendapat (dispute), masalah tersebur harus diselesaikan melalui arbitrase. 

Plantiff menuntut Board atas dasar nuisance, tetapi dalam kasus ini telah diputuskan bahwa plantiff dalam hal ini tidak mempunyai hak untuk menuntut, tetapi dia hanya dapat memperoleh ganti rugi sesuai yang telah diatur oleh UU (Act) tersebut.

8. Mistake
Sebagaimana terdapat di setiap cabang dari hukum (hukum Inggris) maka mistake (kesalahan) bukan merupakan defence dalam tindakan tort. Demikian juga secara umum dapat dikatakan bahwa mistake (kesalahan) itu dalam kenyataannya bukan merupakan defence, tetapi ada beberapa pengecualian, seperti contoh sebagai berikut : 

Dalam defamation (merendahkan martabat seseorang), dengan berlakunya UU yang mengatur bahwa defamation tersebut dalam The Defamation Act 1952 diatur bahwa “jika defendant tidak bermaksud menyebarkan kata-kata yang menyangkut pribadi plantiff dan defendant tidak mengetahui situasinya, maka dengan dasar tersebut yang dapat dimengerti memang ternyata terkait dengan plantiff, defendant dibolehkan (diberi kesempatan) untuk menawarkan untuk mengumumkan koreksi yang memadai/setimpal atau permohonan maaf”. 

Jadi yang dimaksud defence di sini adalah tawaran (offer) yang disampaikan.
Pengecualian yang lain adalah “jika seorang petugas polisi tanpa ada peringatan sebelumnya telah menahan seseorang yang ternyata orang tersebut tidak melakukan tindakan kriminal, maka polisi tersebut tidak dapat dituntut sebagai false imprisonment sepanjang dia bisa tunjukkan bahwa dia bertindak dengan cukup alasan dan dengan niat baik (in good faith)”

Sama juga halnya “dapat dijadikan suatu defence dalam kasus tuduhan secara jahat (malicious prosecution) bagi defendant di mana dia dapat menunjukkan bahwa tuduhan yang dia lontarkan secara keliru, dimulai atas dasar niat baik (good faith) dan didasari keyakinan (kepercayaan) bahwa plaintiff bersalah. 

9. Illegality
Illegality adalah suatu defence di mana plantiff telah melakukan tindakan yang illegal pada saat tuduhan tort dimaksud terjadi. 

Ashton vs. Turner (1980) 
  • Tiga orang telah melakukan pencurian dengan pembongkaran dan mencoba melarikan diri dengan menggunakan kendaraan (mobil) yang dimiliki oleh salah seorang dari mereka. 
  • Dalam pelarian tersebut terjadi kecelakaan dan mengakibatkan salah seorang menderita luka 
  • Di pengadilan telah diputuskan bahwa pengemudi atau pemilik kendaraan tidak dapat dituntut atas dasar negligence, karena sesuai dengan public policy, hukum tidak mengenal duty of care di antara para pelaku kriminal terhadap sesama pelaku kriminal lainnya.dinyatakan dalam pengadilan tersebut bahwa pengemudi atas dasar sepengetahuan dari penumpangnya, dia dalam keadaaan mabuk berat, dan defence dalam bentuk volenti non vit injuria berlaku dalam kasus ini. 

10. Limitation 
Limitation dapat menjadi defence jika defendant dapat membuktikan bahwa plantiff (penggugat) telah melewati batas waktu yang ditetapkan berdasarkan hukum (Limitation Act 1980).

Periode limitation tergantung pada apakah kerusakan yang terjadi pada potential plantiff meliputi kerusakan pada property, atau luka badan atau kematian. Jika terjadi baik luka badan maupun kerusakan, tuntutan harus dilakukan berdasarkan periode limitation untuk luka badan, yang biasanya lebih singkat. 

Periode limitation untuk masing-masing tuntutan : 
  • Gugatan berdasarkan simple contract : 6 tahun sejak tanggal terjadinya cause of action 
  • Wanprestasi yang menimbulkan personal injuries : 3 tahun 
  • Gugatan berdasarkan speciality contract : 12 tahun sejak tanggal cause of action terjadi 
  • Periode limitation mulai berlangsung sejak tanggal terjadinya cause of action, atau date of knowledge dari orang yang terluka. Istilah “date of knowledge” mengacu pada tanggal di mana dia pertama kali mempunyai pengetahuan tentang fakta-fakta berikut : 
  1. bahwa injury yang dipermasalahkan signifikan; dan 
  2. injury tersebut seluruhnya maupun sebagian diakibatkan oleh tindakan atau tidak dilakukannya tindakan yang menyebabkan negligence, nuisance atau breach of duty; dan 
  3. identitaas dari defendant; dan 
  4. jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang lain yang bukan defendant, identitas dari orang tersebut dan fakta tambahan yang mendukung dilakukannya tuntutan atas defendant; 
  5. dan pengetahuan bahwa semua tindakan atau omissions, menurut hukum, melibatkan atau tidak melibatkan negligence, nuisance atau breach of duty, tidak relevan. Bila saat terjadinya hak tuntut, calon penggugat berada dalam keadaan tidak mampu, daluwarsa dimulai sejak ketidakmampuan berakhir atau ia meninggal dunia ,Bila saat daluwarsa dimulai baru timbul ketidakmampuan, daluwarsa tetap berjalan.Bila hak tuntut tentang personal injuries ada pada orang yang belum dewasa, daluwarsa dimulai sejak saat timbulnya cause of action, kecuali terbukti pada saat itu ia tidak dalam perwalian orang tuanya.

No comments:

Post a Comment