..

Arsitektur Pada Masa Kejayaan Zaman Kolonial di Kota Padang


Judul asli dari Artikel ini adalah "Menengok Kejayaan Zaman Kolonial di Kota Padang" artikel yang bersumber dari TEMPO.CO, yang menulis tentang beberapa Arsitektur bangunan peninggalan kolonial di ranah minang dan juga sedikit banyak ikut mempengaruhi Arsitektur Lanskap Tradisional Minangkabau. simak artikelnya:

TEMPO.CO - Kota Padang menyimpan kenangan sejarah zaman Kolonial Belanda. Kota yang terletak di pesisir pantai barat Sumatera ini sepanjang abad ke-18 dan ke-19 tumbuh menjadi kota dagang, sekaligus kota militer Pemerintahan Hindia Belanda.


Di sepanjang Sungai Batang Arau hingga Pelabuhan Muaro sejumlah bangunan tua jadi saksi bisu jejak kolonial yang tertinggal. Dari Jembatan Siti Nurbaya terlihat jelas sisa-sisa kota tua di Jalan Batang Arau di sisi sungai.

Pada zaman kolonial, Jalan Batang Arau menjadi kawasan perkantoran pemerintahan, perdagangan, dan militer. Di jalan ini berderet bangunan-bangunan tua dan besar bekas kantor pemerintahan, perbankan, dan kantor dagang peninggalan VOC.

Bangunan yang menonjol adalah gedung NHM (Nederlansche Handels-Maatschappij), Padangsche Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio yang didirikan sebelum 1920. Atap bangunan bergaya arsitektur neo-klasik dengan tinggi 24 meter dan berdinding permanen ini berbentuk gambrel dengan dua cerobong pada puncak atap sebagai tempat sirkulasi udara.

NHM adalah kantor dagang swasta yang juga menjadi tempat berkantor beberapa perusahaan swasta, asuransi, dan perbankan. Kini bangunan ini hanya dijadikan gudang oleh PT Panca Niaga. Di seberang gedung NHM ada kantor Bank Indonesia yang dulunya gedung De Javasche Bank. Gedung yang dibangun sekitar 1930 itu bergaya arsitektur tropis dengan bagian puncak atapnya menyerupai atap mesjid.

Masih di Jalan Batang Arau, berdiri kokoh Gedung Padangsche Spaarbank yang didirikan pada 1908. Gedung berlantai dua dengan tinggi 35 meter yang berdiri membelakangi sungai ini bergaya neoklasik yang mendapat pengaruh dari arsitektur art-deco. 

Padangsche Spaarbank sempat dikelola Hotel Batang Arau hingga 2009. Hotel tua ini amat disukai turis asing yang surfing ke Mentawai. Di sebelah Spaatbank terdapat gedung NV Internatio, sebuah perusahaan dagang yang dibangun sekitar 1910. Gedung yang sekarang milik BUMN Cipta Niaga itu berarsitektur neoklasik bercampur modern yang berkembang sebelum 1920. Selain itu masih ada beberapa gedung tua lagi yang masih berdiri. 

Selain di sepanjang Jalan Batang Arau juga masih ada lusinan gedung tua di sebelah selatan. Di antaranya tiga bekas pasar yang dulunya terkenal di pengujung abad ke-19 itu, yaitu Pasa Gadang (Pasar Hilir), Pasa Mudik, dan Pasa Tanah Kongsi. 

Kawasan ini sekarang tak lagi menjadi pasar. Arsitektur bangunan yang unik dengan arsitektur campuran antara Arab, Melayu, Cina, dan Minangkabau masih asli dan terjaga. Sebanyak 74 bangunan di sini dijadikan Pemerintah Kota Padang sebagai benda bersejarah yang dilindungi.

Sumber: TEMPO.CO (TEMPO/Febrianti)


Perpaduan Arsitektur Timur Dan Barat

Perpaduan Timur Dan Barat dalam gaya arsitektur saat ini banyak diminati masyarakat. Didunia arsitektur hal tersebut dan sah-sah saja, karena arsitektur merupakn sebuah seni yang dinikmati dan dirasakan oleh penikmatnya sehingga tidak ada batasan dalam dunia arsitektur. seterti artikel yang dikutib dari okezone.com berikut:

East meet West (Foto: astudioarchitect.wordpress)
Gaya East (Timur) meet West (Barat) sering diaplikasikan di hunian karena dapat mengakomodasi tidak hanya dua gaya desain rumah, juga seni dan budaya yang unik. Tampilan akhirnya, rumah menjadi segar, menawan, dan tak lekang waktu.

Dalam penerapannya, unsur Timur biasanya identik dengan segala sesuatu yang berbau etnik, sedangkan falsafah Barat ditampilkan lewat desain yang cenderung simpel dan modern. Arsitektur rumah modern dapat dihiasi sentuhan etnik pada interiornya. 

Sementara, kesan etnik diwakili oleh pemilihan pernak-pernik atau furnitur bernapaskan tradisional yang dicuplik dari daerah-daerah tertentu. ”Arsitektur dengan konsep East meet West adalah elemen budaya dalam satu desain arsitektur,” ujar arsitek Andry Hermawan.

Menurut dia, yang digunakan dari kultur East kebanyakan dari tampilan arsitektur China dan Jepang. Ornamen yang digunakan pada jendela, pintu, bahkan lampunya menggunakan arsitektur dari China. Adapun unsur West biasanya menggunakan konsep budaya dan seni dari negara-negara di daratan Eropa, seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. 

Saat ini ada juga arsitek dan desainer interior yang menerjemahkan konsep East meet West dengan mengarah pada gaya desain kontemporer. Sebab, aliran ini pada dasarnya adalah juga bagian dari perpaduan antara pengaruh modern dan budaya etnik daerah. Banyak gedung yang dibangun dengan gaya modern dan mengacu pada gaya internasional, yang bagian interiornya mendapat sentuhan seni dari Timur.

Sementara pada rumah tinggal, dewasa ini banyak kita temui arsitektur bergaya Eropa, tapi tetap mengaplikasikan unsur Jawa sebagai aksen pintu, jendela, dan furnitur. Begitu pun sebaliknya. 

Sumber :okezone.com

Arsitektur Lanskap Tradisional Minangkabau


Masyarakat tradisi Minangkabau yang agraris telah lama Mengenal, memanfaatkan, memelihara, mengembangkan dan melestarikan tumbuhan, tanaman dan hewan untuk berbagai keperluan kehidupan. Punya aturan dan cara tersendiri agar tidak saling memusnahkan, sebagai penjabaran dari ajaran adatnya; alam takambang jadi guru. 

Perilaku dan perbuatan harus berpunca kepada alam. Kehidupan manusia dan alam berada dalam keseimbangan dan perimbangan, saling memerlukan dan diperlukan. 

Manusia memerlukan tumbuhan, tanaman dan hewan untuk hidupnya, tanaman dan hewan memerlukan manusia untuk pengembangan dan pemeliharaannya. 

Ketika masyarakat tradisi memasuki era modernisasi, kehidupan yang lebih mengarah pada eskploitasi dan jasa. Tumbuhan, tanaman dan hewan dilihat sebagai sesuatu yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia. 

Tanpa mempertimbangkan hubungan antara alam dan manusia yang harus saling menjaga, seimbang, berimbang dan memerlukan. 

Fungsi tumbuh-tumbuhan, tanam-tanaman dan hewan menjadi berubah. Tidak lagi sebagai bagian dari alam, tetapi sebagai pelengkap dari kehidupan manusia.Dengan arti kata, konsepsi keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam, bergeser menjadi konsepsi penaklukan manusia terhadap alam.

Dari titik penaklukan inilah, mulai timbulnya ketidakseimbangan antara alam dengan manusia. Alam ditaklukkan dengan nafsu dan kerakusan berlebihan. “Alam” memperlihatkan kerusakannya akibat penaklukan itu. 

Hilangnya berbagai species hewan dan tumbuhan yang berguna bagi kehidupan manusia. Munculnya species-species baru yang tidak toleran, menyebabkan manusia harus membuat racun-racun pembunuh yang sekaligus juga membunuh manusia itu sendiri secara perlahan. 

Dalam konteks “ketidakseimbangan” antara manusia dan alam yang kini melanda dan sekaligus mengancam kehidupan, kita perlu menoleh kembali pada pola pelestarian yang telah dilakukan masyarakat secara tradisi. Terutama pada penempatan posisi manusia dan alam. Bagaimana masyarakat tradisi Minangkabau itu dengan kearifan yang dimilikinya menempatkan diri sebagai “manusia” di tengah-tengah “alam” dan menempatkan “alam” dalam kehidupannya.

Pola pelestarian yang dimiliki masyarakat tradisi Minangkabau secara tertulis dapat ditemukan pada berbagai kaba seperti pada kaba Cindua Mato, Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dan lainnya. Walaupun dalam teks kaba itu tidak diuraikan secara jelas dan khusus, namun ada kalimat atau ungkapan yang dapat dijadikan rujukan.Juga pada pantun-pantun atau pepatah-petitih. 

Pola pelestarian tersebut masih dapat dirujuk pada kebiasaan/tradisi yang masih berlaku dan dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat tradisi pada berbagai negeri di Minangkabau.

Terutama dalam upacara-upacara mendirikan rumah gadang, menaiki rumah gadang, adat perkawinan dan penobatan penghulu. Pola pelestarian ini dapat juga ditemukan dalam rencana tatanan tanaman pekarangan Istana Basa Pagaruyung yang terbakar karena petir dan sekarang sedang dibangun kembali. Walaupun susunan tanaman pekarangan itu masih memerlukan kesempurnaan, namun dapat membantu, sebagai pembanding dari teks yang ditemukan dalam berbagai cerita rakyat.

Istano Silinduang Bulan
Teks lain sebagai pembanding adalah buku panduan dari Istano Si Linduang Bulan Pagaruyung yang dibakar orang dan sekarang sedang dibangun kembali, terutama menyangkut nama-nama ukiran yang terdapat di rumah gadang tersebut.

Sebelum kita membicarakan lebih lanjut tentang arsitektur lanskap Minangkabau, ada baiknya kita tinjau keberadaan Rumah Gadang sebagai salah satu bentuk budaya Minangkabau dalam arsitektur.

Arti dan Fungsi Rumah Gadang

Rumah Gadang
Rumah Gadang adalah sebuah bangunan tempat tinggal, mempunyai banyak kamar, ruang tengah yang luas dengan bentuk bangunannya yang khas. Selain tempat tinggal, rumah gadang juga dijadikan sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas dan upacara-upacara adat seperti; upacara perkawinan, kematian dan menobatkan/mendirikan penghulu. Oleh karena rumah gadang juga sering pula disebut rumah adat.

Rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat untuk upacara-upacara adat. Rumah Gadang adalah pusat informasi suatu kaum/suku terhadap keberadaan setiap anggotanya. Dari rumah gadang itu mereka mengetahui, mengenal dan mengontrol setiap tindakan dan perilaku anggota kaum. Rumah gadang juga merupakan alamat yang jelas dari seseorang, tempat pulang/kembali.

Rumah gadang adalah tanda dari status seseorang. Menurut ajaran adatnya, seseorang dapat dikatakan orang Minang apabila orang itu mempunyai rumah gadang. Oleh karena begitu pentingnya, rumah gadang mendapat perlakuan istimewa. Selalu dipertahankan setiap anggota kaumnya; dijaga status, wibawa dan fungsinya.

Bila rumah gadang tidak mendapat perawatan yang baik, mungkin karena tidak ada dana untuk perbaikannya, kaum itu dibolehkan menggadaikan tanah pusaka. Rumah gadang tidak dapat dimiliki secara pribadi, tetapi harus atas nama kaumnya.

Sumber: padangekspres.co.id (Puti Reno Raudha Thaib, Ketua Umum Bundo Kanduang, Sumatera Barat)